Rumah Bagaikan Kuburan
Penulis: Balqis Alexa S.P
Dentingan suara jam menggema di setiap sudut kamar. Matahari telah terbenam, langit begitu gelap, perlahan diriku turun dari atas kasur. Tak pernah sedetik pun hari ini merasa tenang.
Kubuka pintu kamar, suasana hening bagaikan kuburan yang menyambutku, ku langkahkan kaki menuju ruang makan sudah waktunya makan malam. Selangkah demi selangkah ku lucuti setiap ruangan yang kosong. Kamar, ruang tamu, dan dapur, semuanya begitu gelap dan sunyi. Akan tetapi, diri ini tak lagi merasakan remang ketakutan.
Secercah cahaya mulai terlihat saat diriku melewati dapur. Semua perabotan terjatuh berserakan di lantai, bumbu dapur, pisau garpu, dan sendok. Terasa pilu hatiku ketika, memandangnya, langkahku terhenti.
“Bapak…” panggilku getir, sesosok pria paruh baya tengah duduk dikursi meja makan.
Ia tersenyum pilu dan menjawab: “Teh, makan?” tawarnya.
Aku mulai menarik salah satu kursi, dan kemudian duduk berhadapan di depan pria itu.
Meja makan dipenuhi berbagai macam masakan di atas piring, namun hanya satu jenis menu yang ada di hadapan kita, yaitu daging.
Aku tersenyum, “Iya, pak,”.
Namun, bau amis sangat menyengat dan tercium dari dirinya?….***
“Pak, mengapa daging ini…” ucapku terbata-bata, mencari kata yang tepat untuk menanyakan keanehan yang terasa begitu mencolok.
Pria itu mengangguk pelan, “Daging ini adalah bagian dari saya. Bagian dari kenangan yang ingin tetap hidup, bahkan setelah tubuh ini tiada.”
Aku terdiam. Tubuhku membeku seolah dihadapkan pada kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya. Kenangan yang diwujudkan dalam hidangan makan malam ini. Ingin rasanya aku bertanya lebih banyak, namun lisan ini terasa terbelenggu oleh kebingungan dan ketakutan.
Pria itu masih tersenyum pilu, seakan mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam benakku. “Kita semua, Teh, adalah perwujudan dari kenangan. Kita hidup dalam ingatan dan pengalaman orang lain. Daging ini, adalah cara saya untuk memastikan bahwa kenangan ini takkan terlupakan.”
Aku mencoba memahami, namun kebingungan dan rasa takut tetap menguasai diriku. Daging di meja makan itu, adalah kenangan hidup yang diwujudkan dalam bentuk yang tak terduga. Rumah ini bukan hanya tempat tinggal, tapi juga wadah bagi kenangan yang ingin abadi.
Malam itu, ruangan itu penuh dengan keheningan yang dalam. Daging di meja makan tetap bersaksi tentang kenangan yang tak bisa dilupakan, mengajarkan bahwa rumah bukan hanya tempat fisik, melainkan perwujudan kisah hidup yang tak terhapus.***
0 Komentar