Penulis: Alfaiq Ihsandhiya Dhafy
Rumah pada mata diriku adalah ember-ember kesedihan yang disiram oleh iblis. Ia terkutuk, oleh tumpah-tumpah bapakku. Jangankan matahari terbit dari timur, ia dihancurkan oleh tangis ibuku.
Pagi saja tidak ada di rumahku. Itu tahun 2017. Aku menanjak diriku kedalamnya. Pada ruang tamu saja sudah disambut iblis kursi. Ia bilang “AKU MUAK BERBINCANG DENGAN KELUARGA,” kata kursi.
Kursi sofaku meronta-ronta, di atasnya ada ibuku yang melawan setan-setan dengan lantunan ayat-ayat suci-Nya. Ia mengutuk ibuku dengan satu kalimat mereka yang akan membawa bapak ku.
Aku tidak goyah dangan semua itu, suara harapan dari keramik, tasbih terus menghujani atap rumahku melawan Siapa? yakni bapakku yang iblisnya. Ia melanggar sumpah janji cinta.
1001 diterornya. Semua yang dibangun hancur begitu saja. 17 tahun rumah tangga yang dijanjikan porak poranda pada 20 Juni, menyisakan tulang belulang asmara mereka di ruang tengah yang begitu tegang dengan drama yang berakhir gila.
Aku mengaisi mayat-mayat asmara dengan ribuan luka iblis yang menghujani punggungku. Menangis aku sebagai anak semata wayang, tapi air mataku menghidupkan kembali sosok ibuku.
Ibuku memelukku dengan tangis sedih. Ia bersumpah menjunjungku pada ribuan doa demi kebahagiaanku di asrama pesantren. Ia akhirnya membangun lagi. Bukan rumah. Melainkan syurga bagiku.
Ibuku, sebagai pilar kekuatanku, berusaha menutupi bekas luka itu dengan senyuman. Tetapi, di matanya, tergambar kerisauan yang dalam. Ia tahu betul, bagaimana cinta yang tumbuh di tanah penuh kenangan pahit dapat meracuni jiwa seiring waktu.
Setiap luka di punggungku menjadi saksi bisu dari pertempuran asmara yang tak pernah aku pinta. Aku merenung, seraya mencoba memahami makna dari setiap getaran rasa di hatiku. Bagai pesan yang terukir di batu, aku terus berusaha mencari makna di balik setiap luka yang membelenggu.
Ibuku, dengan kebijaksanaannya, menyentuh pundakku dengan lembut. “Anakku, luka-luka itu adalah bagian dari perjalananmu. Mereka bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa kamu telah berani mencintai. Biarkan luka-luka itu menjadi pelajaran yang berharga untuk mengukir kebahagiaan di masa depan.”
Sorot mata ibuku penuh makna. Ia tahu bahwa setiap helai cerita asmara di balik luka-luka itu adalah bagian dari perjalanan yang tak terelakkan. Dan dari setiap luka, ia berpesan untuk tidak melupakan nilai cinta yang sesungguhnya.
Dengan semangat baru, aku mulai memahami bahwa syurga yang ibuku bangun bukan hanya tentang fisik tempat, melainkan tentang kedamaian dalam jiwa. Aku merajut kebahagiaanku dengan benang kebijaksanaan yang diberikan ibuku.
Bersama ibuku, aku belajar untuk menerima luka-luka itu sebagai bagian dari kehidupan. Kita terus membina syurga kita sendiri, bukan dengan menutupi luka, tetapi dengan merangkulnya sebagai sejarah yang membentuk karakter.
Dan dalam setiap helaian cerita asmara, aku menemukan kekuatan untuk melangkah maju, membawa syurga itu sebagai hadiah berharga di setiap langkah perjalanan hidupku.***
0 Komentar